Monday, 21 April 2014

gender



Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menemui isu gender yang semakin beredar luas. Baik itu dalam media cetak mmaupun media elektronik. Semakin berkembangnya peradaban sebuah bangsa, maka isu tersebut semakin cepat beredar. Begitu juga dengan isu gender ini, tersedianya media publikasi yang semakin canggih maka penyebarannya ke dalam lingkungan masyarakat juga akan semakin cepat. Reaksi yang di timbulkan dari anggota masyarakat-pun beragam. Ada beberapa dari mereka yang setuju, ada pula yang tidak setuju. Atau bahkan mereka bersikap ‘dingin’ terhadap isu gender ini.
Di era millenium ini, gender memang manjadi sorotan. Adanya perbedaan perlakuan, membuat individu-individu yang merasa dirugikan hak-haknya menjadi angkat bicara. Tak mengenal bahwa ia adalah wanita ataupun pria, mereka semua memperjuangkan hak-haknya untuk menjadi lebih baik. Ketika isu gender di angkat, yang timbul dalam benak kita adalah diskriminasi terhadap wanita dan penghilangan hak-hak terhadap mereka. Isu ini telah tertanam erat dalam lingkungan kita sehari-hari. Baik itu lingkungan keluarga ataupun lingkungan masyarakat pada umumnya.
Banyak ahli berpendapat mengenai gender ini. Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan Gender.
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam masyarakat. Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap perubahan disfungsional.
Banyak pemahaman yang keliru ketika orang mengartikan seks dan gender, karena gender dalam bahasa Inggris hanya diartikan sebagai jenis kelamin. Seks merupakan suatu hal yang merupakan kodrat berupa ciri-ciri fisik/ biologis yang tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Seks bersifat kodrati yang tidak mengenal batas ruang dan waktu, bersifat alamiah dan tidak akan berubah dalam kondisi apapun. Sedangkan gender, merupakan pelabelan yang pada kenyataannya dibentuk oleh budaya, tidak bersifat permanen, dan oleh karenanya bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Gender tergantung pada nilai-nilai yang dianut masyarakat, hasil konstruksi tradisi, budaya, agama dan ideologi tertentu yang mengenal batas ruang dan waktu yang langsung membentuk karakteristik laki-laki dan perempuan. Saat ini di dalam kehidupan bermasyarakat ada pemilahan sifat manusia yaitu feminim dan maskulin. Sifat-sifat feminim dan maskulin dapat dikategorikan sebagai berikut.
Sifat maskulin
Sifat feminim
1.       Aktif / agresif
2.       Independen
3.       Rasional
4.       Obyektif
5.       Tegas
6.       Keras
7.       Jarang menangis
8.       Tidak mudah tersinggung
9.       Lebih kompetitif
10.   Lebih suka berpetualang
11.   Lebih mendunia
12.   Ambisius
13.   Percaya diri
14.   Pemimpin, pelindung
15.   Dsb
1.      Pasif / nonagresif
2.      Dependen
3.      Emosional
4.      Subyektif
5.      Kurang tegas
6.      Lemah lembut
7.      Sering menangis
8.      Mudah tersinggung
9.      Kurang kompetitif
10.  Tidak suka berpetualang
11.  Berorientasi ke rumah
12.  Kurang ambisius
13.  Kurang percaya diri
14.  Pengasuh, pemelihara
15.  Dsb

Sifat feminin seringkali dilekatkan pada diri perempuan dan sifat maskulin seringkali dianggap sebagai sifat laki-laki. Sehingga bila ada seorang yang bersikap tidak sesuai dari sifat-sifat yang sudah dilekatkan pada dirinya oleh masyarakat maka dia diangggap menyimpang atau salah. Padahal pada riilnya, potensi yang dimiliki laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia adalah relatif.
 Dari pelabelan yang ada di masyarakat ini memunculkan ketidakadilan yang berkaitan dengan relasi antara perempuan dan laki-laki. Setidaknya ada lima isu gender yang dialami perempuan akibat ketidakadilan gender yaitu :
1.        Kekerasan terhadap perempuan.
2.        Beban ganda perempuan
3.        Marginalisasi perempuan
4.        Subordinasi perempuan
5.        Stereotype terhadap perempuan

Sedangkan manifestasi ketidakadilan gender bagi perempuan dapat dirumuskan sebagai berikut[i] :
1.    Pada sektor budaya, perempuan terkungkung dengan stereotype yang dilekatkan pada dirinya untuk tidak keluar dari peran domestiknya.
2.    Dalam sektor publik maupun domestik perempuan seringkali menjadi korban tindak kekerasan
3.    Dalam bidang ekonomi, perempuan mengalami marginalisasi dan harus menanggung beban ganda jika ingin berkiprah di ruang publik.
Dalam bidang politik, perempuan selalu menempati posisi sub-ordinan, baik di struktur pemerintahan, maupun di tingkat perwakilan rakyat. Sebagai warga negara. Perempuan juga hanya ditempatkan sebagai obyek dalam setiap kebijakan pemerintah yang memang seringkali menjadi monopoli laki-laki.

Secara garis besar perempuan memiliki dua peran. Yaitu peran sebagai anggota keluarga dan peran sebagai anggota masyarakat.

1.      Perempuan sebagai Anggota Keluarga
Di dalam keluarga perempuan dapat berperan sebagai ibu, istri, anak. Semua peran tersebut menuntut adanya tugas sesuai dengan perannya.
a.       Perempuan sebagai Ibu
Sebagai ibu tugas perempuan yang pertama dan utama yang tidak diperselisihka lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah untu tugas itu, baik secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan kultural apa pun. Perempuan sebagai ibu dalam keluarga, idealnya menjadikan dirinya teladan yang bisa dicontoh anak-anaknya dalam segala hal yang dilakukannya di dalam urusan rumah tangga.
b.      Perempuan sebagai Istri
Perempuan sebagai istri memiliki peran yang sangat penting. Istri yang bijaksana dapat menjadikan rumah tangganya sebagai tempat yang paling aman dan menyenangkan bagi suami. ( Alfan, tanpa tahun: 25) Istri dapat berperan sebagai teman baik, tempat suami mencurahkan perasaan hatinya. Mendinginkan suasana ketika hati sedang panas. Sehingga suami memperoleh motivasi baik dalam hal mencari nafkah maupun beribadah. Posisi perempuan sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti yang sangat penting, bahkan dia merupakan salah satu tiang penegak kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “tokoh-tokoh besar”. Sehingga tepat sekali ungkapan: “Dibalik setipa orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.” Dengan peran perempuan sebagai istri maka ada beberapa kewajiban istri terhadap suami. Kewajiaban pertama, adalah taat sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat bahkan lebih utama daripada melakukan ibadah-ibdah sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Syaikh Muhammad Bin Shalih “Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempa kecuali setelah mendapat izin suaminya.” (Muttafaqun ‘alaihi Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.’ (Fathul Bari 9/356) Menjaga rahasia suami dan kehormatannya dan juga menjaga kehormatan diri sendiri di saat suaminya tidak ada di tempat. Sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya. Menjaga harta suami. Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik wanita penunggang unta, adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaqun ‘alaihi) Mengatur kondisi rumah tangga yang rapi, bersih dan sehat sehingga tampak menyejukkan pandangan dan membuat betah penghuni rumah.

c.       Perempuan sebagai menantu dalam keluarga
Idealnya menjadikan keluarga suaminya sebagai keluarga kedua, dan memperlakukan kedua keluarga dengan sama baiknya, karena bila kita menikah, kita menikah tidak hanya dengan orang yang bersangkutan, tetapi juga dengan keluarganya. Ibunya adalah ibu kita juga, ayahnya adalah ayah kita juga.
d.      Perempuan sebagai mertua di dalam keluarga
            Dia harus bisa menyadari bahwa ia sudah “diluar” kehidupan anaknya, dan berfungsi hanya sebagai penasehat dan bukan yang ikut menentukan jalan pernikahan anaknya. Mertua yang baik adalah yang mendukung pernikahan anaknya di dalam doa serta memberikan bantuan nasehat, dan lainnya bila diperlukan.
e.       Perempuan sebagai adik / kakak dalam keluarga
            Disini, perempuan berperan sebagai saudara yang saling memperhatikan , saling mendukung dan saling menghargai sebagai sebuah keluarga.
2.      Perempuan sebagai Anggota Masyarakat
Jumlah wanita sama banyak dengan jumlah laki-laki, bahkan bisa lebih banyak dari laki-laki sebagai-mana pernah disebutkan dalam hadits Rasulullah shalallahu'alahi wassalam. Akan tetapi, perbandingan ini terkadang berubah-ubah setiap waktunya atau berbeda-beda antara tempat yang satu dengan yang lain. Kadangkala di suatu negara wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki, namun di negara lain sebaliknya, laki-lakinya yang lebih banyak. Demikian pula pada suatu waktu terkadang wanita lebih banyak dari laki-laki dan di waktu lain terjadi sebaliknya laki-laki yang lebih banyak. Yang jelas bagaimanapun keadaannya, wanita tetap memiliki peran yang penting dalam perbaikan masyarakat. pertumbuhan generasi muda pada awalnya pasti beranjak dari pangkuan seorang ibu (wanita). Dengan demikian, maka tampak jelas bagaimana pentingnya peran yang harus diemban oleh para wanita dalam memperbaiki masyarakat.
Peranan karena kecenderungan penilaian bahwa normativitas Islam menghambat ruang gerak perempuan dalam masyarakat. Hal ini didukung oleh pemahaman bahwa tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah, sedangkan di luar rumah banyak terjadi kemudharatan. Pandangan rumah untuk maksud tertentu dihukumi dengan subhat, antara diperbolehkan dan tidak. Dalam bahasan fiqh ibadah, jika subhat lebih baik ditinggalkan. Sedangkan dalam perempuan dalam masyarakat yang paling umum adalah fiqh muamallah bisa dijalankan dengan menurut pandangan Qardhawy (1997:231) bahwa keluarnya perempuan dari rumah untuk keperluan tertentu adalah diperbolehkan. Bahkan menahan perempuan di dalam rumah hanyalah bentuk perkecualian dalam jangka waktu tertentu sebagai bentuk penghukuman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah telah mengijinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (Muttafaqun ‘alahi) Perempuan sama persis dengan laki-laki. Baik dalam urusan ibadah dan Muamallah, tiada kelebihan laki-laki atas perempuan. Dengan demikian perempuan mempunyai hak yang sama dalam usaha melakukan perbaikan (ishlah) dalam masyarakat. Namun Yang sampai perbincanganbarrier berupa sinyalemen hadits bahwa tidak akan beruntung suatu masyarakat jika sebagai bagian tak terpisahkan dari umat mendapat perlakuan yang kepemimpinan saat tersebut perempuan ini terus bermula dari kepemimpinan diserahkan kepada wanita.
Diharapkan nantinya, isu gender yang bersifat negatif dapat berkurang dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Sehingga tak ada lagi perempuan yang merasa dirugikan atas adanya pelabelan gender ini. Karena, pelabelan ini dapat menjadi penghalang aktivitas mereka. Banyak dari perempuan yang berkecil hati karena adanya pelabelan ini. Banyak juga dari mereka yang akhirnya hanya mengikuti arus yang ada di masyarakat tanpa mempedulikan perkembangan kepribadiannya sendiri. Mereka beranggapan posisi mereka ada dibawah laki-laki. Hal ini mengakibatkan potensi para wanita menjadi terisolasi dan susah untuk dieksplorasi. Untuk itulah, kesetaraan gender ini harus diperhatikan dan dipahami oleh tiap-tiap individu baik itu laki-laki maupun perempuan, bahwa sebenarnya hak-hak mereka adalah sama dan memiliki potensi yang sama untuk dapat mengembangkan kepribadiannya sendiri-sendiri sehingga dapat melaksanakan fungsinya secara maksimal, baik itu fungsi dalam keluarga maupun dalam ruang lingkup masyarakat luas. Oleh karena itu, kita harus menanamkan kesadaran gender, baik untuk diri sendiri, maupun untuk anggota keluarga lain. Kesadaran ini perlu juga diajarkan sejak dini, agar nantinya anak-anak telah memiliki pengetahuan tentang masalah gender ini.
1.      Di Lingkungan Rumah/keluarga
Kesadaran gender anak-anak tumbuh dalam keluarga melalui kondisi real hubungan ayah dan ibu serta perlakuan yang mereka dapatkan. Dalam keluarga-keluarga masih diwarnai praktik bias gender yang tidak adil terhadap perempuan -- ibu maupun anak. Posisi suami sebagai "kepala keluarga" yang mengambil keputusan final, serta istri yang harus menanggung beban ganda (peran ganda?) sebagai pengurus rumah tangga dan pencari nafkah, jelas gambaran tidak adil dan tidak setara. Kesempatan pendidikan lebih diberikan kepada anak laki-laki, sementara banyak pembatasan lebih diberikan kepada anak perempuan, juga gambaran bagaimana bias gender ini masih mewarnai kehidupan keluarga. Tradisi dan agama pun ikut melegitimasi budaya patriarki sehingga memperoleh pembenarannya. Pada akhirnya, masyarakat pun mengamini praktik-praktik semacam itu. Dibutuhkan perubahan paradigma, khususnya dalam hubungan suami istri, untuk memulai penumbuhan kesadaran akan kesetaraan gender dalam keluarga. Suami istri saling menghargai sebagai pribadi yang semartabat, kendati tetap mengakui adanya perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan fungsi lebih bertumpu pada pembagian tugas dan partisipasi daripada atas dasar gender. Dalam hal ini, tugas mengurus dan mendidik anak adalah tugas bersama antara ayah dan ibu.
Kesetaraan gender dalam keluarga bukan untuk pertentangan, justru dalam kerangka pembentukan pola relasi dan komunikasi yang lebih manusiawi antara suami dan istri. Dalam kondisi seperti ini, kekerasan domestik tak akan terjadi, suami istri tidak saling mendominasi, anak-anak akan mendapatkan habitat tumbuh yang kondusif bagi masa perkembangannya. Orangtua bisa memulai dari hal sederhana, misalnya tidak terlalu menonjolkan perlakuan yang berbeda antara anak perempuan dan laki-laki seperti anak laki-laki diberikan mainan mobil dan senapan sementara perempuan melulu boneka dan alat rumah tangga. Anak laki-laki pun perlu dilibatkan dalam urusan domestik seperti mencuci piring, memasak, dan berbelanja. Hindari kata-kata "Anak perempuan tidak boleh..." atau "Anak laki-laki harus..." .
Dengan demikian, boleh dan tidak boleh suatu perbuatan bukan atas dasar gender, melainkan nilai moral yang dikandungnya. Pendidikan yang paling efektif adalah keteladanan dan anak-anak belajar dari sana. Orangtua yang memiliki kesadaran gender tinggi akan melahirkan anak-anak yang demikian pula, dan ini berarti membekali anak-anak dengan ketrampilan hidup yang sesungguhnya.
2.      Di Lingkungan masyarakat
Perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki atas dasar gender masih mewarnai lingkungan masyarakat. Dalam jenjang yang lebih tinggi,misalnya sebuah organisasi, posisi strategis dalam organisasi siswa diduduki siswa laki-laki, sedangkan siswa perempuan cukup menjadi seksi konsumsi, atau maksimal sekretaris sebagai pemanis dan "pembantu" ketua.
Perlakuan yang bias gender ini mencerminkan bahwa masyarakat-pun ternyata masih tipis kesadaran gendernya sehingga tanpa sadar ikut melestarikan budaya patriarki. Perbuatan bernilai pantas atau tidak bukan atas dasar gender, melainkan nilai moral yang dikandungnya, misalnya perbuatan membolos adalah tidak pantas untuk perempuan maupun laki-laki. Dalam ranah pendidikan Peran strategis dalam penyadaran gender adalah para guru. Sudah saatnya kurikulum sekolah keguruan memasukkan mata kuliah gender. Langkah pertama yang perlu diambil guru adalah bersikap kritis terhadap praktik bias gender yang ada di lingkungan sekolah, kemudian susun dan persiapkan sendiri materi ajar, metode, dan pengelolaan kelas, yang mendukung iklim kesetaraan gender. Untuk jenjang yang lebih tinggi, ajak para siswa untuk berdiskusi masalah-masalah gender yang sedang aktual. Ajak mereka untuk mengkritisi praktik eksploitasi dan komersialisasi tubuh perempuan yang mendominasi media dalam segala bentuknya.
Dengan cara demikian, sekolah benar-benar akan menjadi agen perubah sosial yang efektif dengan merespons secara konstruktif persoalan-persoalan nyata yang sedang dihadapi masyarakat secara lokal maupun global, bukan melalui mata pelajaran, melainkan pembangunan cara berpikir dan bersikap. Perubahan cara berpikir yang bertumpu pada kesetaraan gender akan mengubah tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi, termasuk juga model antara suami dan istri yang saling menghargai harkat dan martabat. Suatu gerakan besar yang akan membarui kehidupan dan memberi harapan bagi peradaban manusia.

No comments:

Post a Comment