Monday, 14 October 2013

kebaikan kecil itu berarti besar . . .

Apa yang membuat cinta itu berarti bukan hanya sekedar kasih sayang ataupun ucapan romantis atau mungkin rangkaian bunga bertingkat yang memiliki harum semerbak. Kadangkala cinta itu dapat sangat bernilai dari tindakan yang sangat kecil. Mungkin banyak disepelekan orang.
Suatu ketika terlihat seorang wanita paruh baya menagmbil secercah rejeki di tempat yang mungkin bagi sebagian orang adalah tempat yang menjijikkan dan sumber virus dan kuman. Dia bersyukur karena dia dapat hidup dengan layak meskipun sangat serba berkecukupan. Dia percaya bahwa rizki yang barokah itu akan selalu mangalir untuk keluarga kecilnya yang tinggal di sebuah gubuk sederhana yang dikelilingi pegunungan sampah.
“Ternyata, Masih banyak yang kurang beruntung ddibandingkan denganku” ucap wanita tersebut dalam hatinya.
Ya, dia mengatakan hal tersebut saat dia melewati sebuah rumah mewah yang hanya menjadi impiannya sejak dulu. Dia melihat pasangan suami-istri di depan teras rumah itu. Sering sekali dia melewati rumah bertingkat dengan arsitektur lawas. Dan hampir tiap hari pula, dia mendengar nada kekesalan dari dalam rumah tersebut. entah apa yang mereka ributkan, dia tak tahu. Dia hanya mengais sampah yang ada di sebelah kanan pintu gerbang rumah.
Banyak orang yang melewati rumah itu dan berkata,”alangkah beruntungnya orang yang tinggal dalam rumah ini, pastilah dia sangat bahagia”
Dia hanya terseyum saja saat ada pasangan muda mudi mengatakan hal tersebut didekatnya.
Tanpa ia sadari, salah satu dari pasangan tersebut melihatnya tersenyum, iapun berkata “mengapa engkau tersenyum?”
“karena aku bahagia . . .”
“Bagaimana bisa engkau merasakan bahagia, sedang engkau hanya seorang pemulung sampah . . .”
Tak disangka pemuda itu begitu angkuhnya, namun di tetap saja tersenyum dan kembali berkata, “ketahuilah, kebahagiaan itu tak dapat diukur dengan melihat kebahagiaan orang lain”
“apa maksudmu?”
“kita tak kan pernah merasakan bahagia saat kita melihat kebahagiaan orang lain. Aku bersyukur karena tiap pagi aku masih bisa mencium tangan suamiku. Aku juga bersyukur tiap pagi aku masih bisa melihat senyum anak-anakku. Aku hidup hari ini sebagai bekal di hari esok. Kebahagiaanku adalah rasa syukurku”
Pemuda itu tertegun, tak menyangka seorang pemulung bisa mengatakan hal yang begitu menusuk pikirannya. Lalu wanita paruh baya itu meneruskan perkataannya
“nilai kebahagiaan seseorang tak dapat dicari dimanapun, ia menciptakannya sendiri. Nilai itulah yang merupakan ukuran kebahagiaan seseorang. Syukurilah apa yang ada ssekarang, aku percaya engkau pasti akan mendapat kebahagiaan. Ingatlah, kebahagiaan itu bukanlah seperti buah apel yang jatuh dari pohonnya. Kebahagiaan itu adalah sebuah proses yang harus disyukuri”
Sepasang pemuda itu semakin heran. Bagaimana bisa seorang pemulung bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Tentu saja mereka heran. Mereka berdua kagum terhadapnya. Dia bisa bersyukur atas hidupnya hari ini tanpa sedikitpun berkeluh kesah. Merasa sangat malu, pasangan muda mudi itupun meninggalkannya tanpa sepatah katapun.
Hari demi hari berganti, dia tetap saja melakukan rutinitasnya. Hingga suatu ketika, sesuatu memaksanya untuk masuk ke sebuah toko mainan. Dari luar, dia melihat anak kecil yang sedang tertunduk lesu di hadapan kasir. Saat dia membuka pintu toko, dia mendengar seorang kasir yang berbicara pada anak kecil.
“maaf nak, tetapi uangmu tidak cukup untuk membayar semua barang ini” ucap sang kasir kepada anak kecil yang berdiri di depannya.
“tapi . . . tolonglah aku . . . aku telah menabung untuk dapat membeli semua ini, pasti engkau salah menghitungnya” anak kecl itu berbicara sambil meletakkan beberapa lembar uang di hadapan kasir. Tatapannya sungguh dalam. Dan kedua mata coklatnya mulai berkaca-kaca.
“ada apa, nak?” tanya wanita paruh baya tersebut.
“ini, bu,, mbak kasir berkata padaku bahwa uangku tidak cukup untuk membayar barang-barang ini. Padahal aku telah menabung setiap hari”
Karena dia ingin tahu, lalu dia bertanya kepada anak kecil itu. “untuk apa barang-barang ini, nak?”
“ooohh, mainan dan permen ini untuk adikku tercinta. Aku telah berjanji untuk membelikannya saat ulang tahun ke 3-nya. Karena dia sangat menyukai mainan dan permen ini. Aku ingin menitipkannya kepada ibuku. Ayah bilang, mungkin sebentar lagi ibu akan mengunjungi dan menjaga adik di rumah tuhan. Tapi aku memohon kepada ibu untuk tidak pergi dulu, karena aku ingin menitipkan mainan dan permen ini untuk adikku tercinta. Tapi apa daya, uangku tak cukup untuk membayar semua barang ini” Dengan mata yang semakin berkaca-kaca diapun mulai tertunduk lesu untuk kesekian kalinya. “aku harus membeli semua ini, ibuku tak mungkin bisa membelinya saat ini, dia sedang sibuk” anak kecil itu melanjutkan bicaranya.
Wanita paruh baya itupun terketuk untuk membantunya, “mari kita hitung sekali lagi,nak. Mungkin saja kau tadi salah menghitungnya . . .”
Tanpa sepengetahuan gadis kecil itu. Pemulung baik hati tersebut menambahkan beberapa lembah uang hasil pekerjaannya untuk sekedar membantu gadis itu.
“lihat!!! Ternyata aku benar. Aku bisa membayar semua ini dan sisanya nanti, akan aku beikan bunga yang paling disukai oleh ibuku”
Betapa senangnya gadis kecil tersebut. langsung dia mengusap air mata yang hampir memenuhi kedua bola matanya. Akhirnya mereka keluar dari toko diselimuti dengan rasa bahagia.
“sekarang aku akan pulang dan membungkus semua ini, untuk kujadikan kado yang nantinya akan aku titipkan pada ibuku”
“hati-hati nak, sampaikan salamku pada mereka . . . “
“baiklah . . .”
Ya, namanya juga anak kecil, wanita itu beranggapan bahwa dia masih seumuran 7 atau 8 tahun. Wajahnya masih penuh dengan kepolosan.  Dia bersyukur bisa berbagi dengan orang lain yang sangat membutuhkan. Meskipun harus diterima kenyataannya bahwa upahnya hari ini telah berkurang. Namu, dia tetap bersyukur atas apa yang dia dapat hari ini. Dia percaya bahwa semua pengorbanan yang dilakukan secara tulus itu akan membuahkan hasil yang tak tenilai harganya suatu saat nanti. 

No comments:

Post a Comment